"Hati-hati ya Sha, Asumsi Itu Membunuh..jangan sekali-kali kamu menulis berdasar asumsi"
Kata-kata itu yang selalu terngiang dari seorang senior kala sha bekerja di sebuah kantor berita. Sama halnya ketika kita mengunggah tulisan dalam kanal yang di sebut sebagai media sosial. Apa yang kita tuliskan secara pribadi di kolom media sosial adalah sebuah opini yang bisa memancing asumsi. Terlepas dari berbagai fakta yang ada didalamnya, sekali lagi asumsi lahir dari buah pikiran atas sebuah keresahan yang ada pada diri kita.
Media Sosial, sebuah tempat untuk bersosial. Apakah ada makna lain yang membuat kanal untuk saling berinteraksi itu di terjemahkan selain "Media"? Sha tunggu jawabannya. Sementara itu, baca tulisan berikut ini sampai habis.
Media sosial berisi kumpulan orang, yang masing-masing tentu bisa berasumsi berdasar kehendak sendiri, menjadikan nya sebagai Arena atau panggung. Dalam strategi digital marketing yang sha pernah ikuti menjelaskan bahwa "Setiap manusia butuh area untuk menonjolkan diri, karena kita [manusia.red] memiliki ego yang harus di beri makan berupa appresiasi"
Tak jarang untuk mendapatkan appresiasi ini dilakukan dengan mengunggah berbagai konten yang membutuhkan interaksi siapapun yang berada di dalam lingkaran pertemanan kita maupun di luarnya. Lambat laun, apresiasi ini menjadi sebuah alat untuk mengendalikan pemikiran orang-orang yang menjadi jaringannya, dari sini esensi media sosial mulai berubah menjadi sebuah arena penghakiman.
Kini sosial media dimanfaatkan oleh orang-orang untuk melancarkan aksi terorisme digital, yang diserang adalah keresahan dan kedamaian publik. Semua semakin kental manakala mendekati tahun-tahun politik. Demokrasi diterjemahkan sebagai membuka suara seenaknya dengan mengunggah berbagai komentar satir, sinisme, dan komentar lain. Tak ada lagi debat cerdas satu lawan satu, semua mengikuti siapa yang paling memiliki kuasa (dalam konteks banyak follower).
Pada akhirnya kita kehilangan identitas pancasila yang ke tiga "Presatuan Indonesia" dan sila ke empat "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Apakah kalian sudah merasakannya?
5 Komentar
Media sosial membuka keran untuk penyaluran insting primitif manusia yang berlandaskan "the survival of the fittest". Makanya terjadi yang seperti ini.
BalasHapusMedia sosial membuat dunia menjadi sebuah hutan dimana yang kuat yang menang. Mereka akan ikut berusaha menjatuhkan orang lain, karena dengan begitu mereka terlihat lebih tinggi dari setidaknya orang yang dijatuhkannya.
Wah, benar-benar nda pernah absen nih kak anton untuk komen di blog sha 😄
HapusIt's worth Sha... Refreshing yet challenging thought
Hapusaku rasa kita tidak kehilangan kedua sila tersebut, akan tetapi tanpa kita sadari kita mulai memperbaharuinya dengan mana yang baru pula. kali pertama aku mampir di sini, langsung jatuh cinta dengan tulisannya
BalasHapusTerima kasih kak sudah mampir ke blog sha. Semoga nda bosan baca ya, kadang isi blognya random.😄
Hapus