Arikel ini sha persembahkan untuk ibu dosen cantik, Alifia Rahmadilla yang berkenan membuka wawasan sha dan menampar secara sederhana pola pikir yang sha akui masih terlalu tradisional. Semua bermula dari pertemuan kami setelah sha lulus. Melalui pesan di telepon selular yang mengatakan bahwa ia sedang berada di dekat kantor sha bekerja sekarang, ia mengajak bertemu sembari mensesapi kopi di kedai dekat sini.
Kami bercanda rupa menanyakan apa kesibukan ibu dosen yang hingga kini masih memutuskan untuk belum memiliki hubungan serius dengan siapapun. Hingga akhirnya berujar menanyakan kabar Mama dan Abang sha yang sempat mengisi relung hatinya. Sebagai catatan, dosen sha ini pernah dekat dengan abang, karena mereka dulu satu kampus di ITB Bandung.
Oke singkat cerita, sha menceritakan keadaan mama yang ikut ribut seperti Ibu Ibu komplek pada umumnya, perihal garam dan kebijakan pemerintah yang hendak mengimpor dari Australia.
"Indonesia itukan negara dengan garis pantai terluas ke dua di dunia ya kak, tapi kenapa harus impor segala." Menghengus kesal, sembari menyeruput ice moccachinno "Ini pasti akal-akalan pemerintah yang mau korupsi." Menepak meja dengan gelas.
"Lo, kok sha bilang gitu?" kak alifia tersenyum manis, dengan lesung pipi di sebelah pipi kirinya "memang apa yang mendasari sha berpendapat bahwa dengan garis pantai yang panjang, Indonesia tidak akan kekurangan garam?" Ia memiringkan kepalanya sedikit, rambut panjang sebahunya jatuh lembut dari bahu.
"Iya dong, dengan garis pantai sepanjang itu harusnya produksi garam Indonesia cukup untuk seluruh wilayah Indonesia." aku memalingkan wajah, masih menyeruput ice moccachinno dari sedotan.
Kak alifia menarik nafas, kemudian menarik tubuhnya bersandar ke kursi "Memang benar, Indonesia memiliki garis pantai terpanjang ke dua didunia. Tapi tidak lekas menjadikan semua daerah di Indonesia bisa memproduksi garam, sha sayang." ia memutar mutar gelas teh hijaunya, menciumi aromanya dan meneguk pelan. "Dalam produksi, ada yang disebut yield atau hasil dari bahan baku yang diolah. Dalam 1 Liter air laut, para petani garam di Indonesia hanya mampu memproduksi 5-10 gram garam kasar dan tak semuanya bisa digunakan untuk menjadi garam yang layak konsumsi lo" Ia mengelap bekas lipstik yang melekat di cangkirnya.
Aku kini mendengarkan dengan seksama. "Jadi, nda semua garam di laut itu bisa diolah menjadi garam yang layak konsumsi kah kak?"
"Iya sha sayang, nda semuanya" ia meniru logatku, sembari tersenyum simpul, begitu renyah."Ditambah, beberapa ladang industri garam di Indonesia tenggelam akibat kenaikan permukaan laut yang kini mulai menampakan bentuknya, sebagai efek pemanasan global. Untuk membuat ladang garam, para petani itu butuh lahan dengan kemiringan dan cuaca terik. Hujan yang tak menentu di Indonesia pun menjadi salah satu mengapa banyak produksi bukan hanya garam, hingga beras pun mengalami gagal panen akibat sawah yang sudah melalui fase basah harus kembali dibasahi air hujan kualitas berasnya menjadi lebih jelek."
Ya tuhan, jika aku laki-laki..aku pasti akan jatuh cinta pada perempuan satu ini. Ia begitu cerdas dalam menerangkan sesuatu bahkan untuk perihal garam.
Kelangkaan garam yang terjadi, bahkan kelangkaan lainnya pasti ada sangkut pautnya dengan kebiasaan kita juga. Mengapa langit mudah sekali mencurahkan hujan tak menentu, efek gas rumah kaca hingga berujung pemanasan global yang disebabkan oleh perilaku manusia yang terus menerus menggunakan bahan bakar fosil, pembakaran sampah secara sembarangan, dan kebiasaan lainnya yang buruk terhadap lingkungan telah menyumbangkan tanda tanda kemurkaan alam.
Ditambah sekarang pembuangan limbah rumah tangga di Indonesia tak pernah di olah secara profesional, dibuang begitu saja, bercampur dengan air tanah dan air sungai yang bermuara ke lautan, merusak ekosistem dan tatanan hidup lautan.
Lalu apakah sha masih mau menyalahkan orang lain? tidak patut sepertinya. Apa yang bisa sha lakukan untuk memperbaiki ini? sedang sha renungkan sembari bertanya pada kak Alifia kenapa ia harus berpisah dari abang. "Sha tau kenapa kami harus pisah kan, ini soal keyakinan kami yang berbeda" Ia kini memandang ke arah langit biru sembari mensesapi teh hijaunya.
4 Komentar
Garam.... sesuatu yang memang sejak masa kecil kita diindoktrinasi bahwa laut menghasilkan garam dan Indonesia kaya oleh itu. Tetapi, kebanyakan buku pelajaran lupa bahwa untuk melakukan semua itu butuh proses yang lumayan panjang dan hal itu memerlukan ongkos produksi yang lumayan.
BalasHapusPadahal banyak negara-negara di dunia yang memiliki tambang garam dimana proses pembentukan garam sudah dilakukan oleh alam dan pada akhirnya membuat biaya menambang lebih murah dibandingkan membuatnya dari ari laut.
Tidak beda dengan masyarakat Indonesia yang diindoktrinasi bahwa Indonesia adalah produsen minyak, padahal sekarang Indonesia adalah pengimpor minyak.
Sesuatu tidak nampak seperti yang terlihat. Banyak hal di belakangnya yang butuh dipelajari, sayangnya, masyarakat Indonesia sudah terbiasa dimanjakan dan kemauan untuk bahkan sekedar belajar saja hilang.
Itulah mengapa sejak tahun 1980-an, Indonesia tetap saja menjadi negara berkembang dan belum menjadi negara maju. Karena masyarakatnya manja dan tidak mau belajar.
Pertanyaan untuk Sha... foto dosen mu yang cantik itu mana..:D :D?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusHahahha. Udah liat sha... sayang dia sepertinya jarang menulis... tapi bener sih dia cantik:-)
BalasHapusTulisannya justru banyak di jurnal ilmiah kak..dia jarang menulis di blog..itupun sha yang paksa dia untuk menulis di blog jika ada waktu senggang.
Hapus