Pada artikel sebelumnya yang berjudul "menikmati kopi itu menenangkan, bukan meresahkan", sha mendapati sebuah komentar yang kalian bisa baca sendiri. Namun secara garis besarnya begini "Apakah penikmat kopi sacetan tergolong orang yang tidak berkelas?", lalu apakah orang yang sering menikmati kopi di kedai kopi bisa dikatakan berkelas?
Mari kita duduk sejenak, seduh segelas kopi sembari menikmati jeda sepi malam ini. Sha kembali hendak melanjutkan apa yang disampaikan oleh sang barista di kedai Bakoel Mama tentang kopi. Terlepas dari robusta atau arabika, kopi justru ditemukan pertama kali oleh penggembala kambing di dataran etiopia. Kala itu kambing yang digembala terlihat menunjukan geliat aneh karena terlalu berenergi di bandingkan kambing-kambing lain.
The First Wave Of Coffee
Dari temuan sang gembala, kopi kemudian dibawa untuk diperdagangkan dan diperkenalkan hingga ke seluruh dunia. Karena sudah menjadi sebuah minuman yang memberi energi, kemudian pada era revolusi industri, kopi dikemas menjadi bentuk sacetan yang kita kenal hingga saat ini sebagai bentuk kemudahan bagi para penikmat kopi untuk tetap bisa merasakan kopi dimanapun dan kapan pun.Maraknya penjualan kopi berbentuk sacetan ini dikenal dengan istilah First Wave Of Coffee atau Gelombang Pertama revolusi kopi. "Kopi dinikmati dengan penuh kemudahan"
Second Wave Of Coffee
Karena kopi sacetan yang mulai ramai, munculah terobosan baru dari seorang pemuda yang menemukan bahwa kopi itu rasanya berbeda-beda. Ia bertekad ingin menyajikan kopi dengan menunjukan cita rasa tersebut melalui sebuah kedai, yang tiap hari orang bisa bertandang dan menikmati sajian kopi berdasarkan apa yang ia rumuskan rasanya.Third Wave Of Coffee
Namun, beberapa orang yang sering menghabiskan waktunya dikedai merasa bahwa menikmati kopi itu bukan dari konsep tempatnya. Tapi dari citarasa kopi itu sendiri, hingga akhirnya orang-orang yang mendedikasikan diri mereka untuk mencari dan mengeluarkan citarasa unik dari kopi memutuskan untuk menomor dua kan konsep kedai dan lebih menonjolkan rasa kopi yang unik jika diperlakukan dengan berbeda-beda.Dari sini berbagai macam teknik digunakan, mulai dari french press, V60 Drip, Cemex, Ciffon, hingga berbagai macam metode dengan nama aneh digunakan untuk mengeluarkan cita rasa dari sejumlah gram kopi. Cita rasa seperti cerry, karamel, kayu manis dan rasa-rasa yang aneh satu persatu dikeluarkan untuk dinikmati bersama sepi untuk memperkaya imaji.
Lihat bukan, kopi tak mengenal kelas pada saat pertama kali ditemukan. Tapi kita yang menikmati kopi lah yang mengklasifikasi dan membedakan sehingga banyak terobosan-terobosan baru, menganggap bahwa kopi itu harus dinikmati di tempat-tempat tertentu. Padahal kopi tidak pernah menuntut siapa dan dimana segelas kopi itu disajikan. Seperti malam ini, segelas mochacinno sha nikmati di selasar rumah sembari melihat hujan.
6 Komentar
Keren mbak saya jadi dapet insipari bikin artikel tentang starbucks yg di cap haram he..he... Sudah semestinya ngopi itu menenangkan bukan meresahkan
BalasHapusWah, syukurlah jika artikel yang sha buat bermanfaat untuk membuka pola pandang. selamat menulis kak :)
HapusWooww... itulah kenapa saya senang baca tulisan Sha.. Terutama di kalimat paling akhir.
BalasHapusKopi adalah kopi, apapun bentuknya dan kemasannya tetaplah kopi. Tetapi, terkadang manusia membuatnya jadi berbeda, dengan egonya.
Good point Sha... 😉
Sama-sama kak, senang punya pembaca setia seperti kakak :)
HapusSaya yang sering suka kopi buatan sendiri mbak tumbuk makin enak,makasih infonya ,jadi makin tambah pengetahuan
BalasHapusSama-sama kak, senang bisa berbagi pengetahuan.
Hapus