Fajar Dibalik Awan Kelabu

Biru dan kelabu masih bercampur dengan cahaya lampu dermaga, tempat yang paling terang benderang kala gelap datang. Beberapa drum tergelontorkan satu satu meninggalkan perahu, diangkat oleh anak-anak berperawakan tangguh, mereka tertawa bersamaan dengan ombak yang menepuk kayu bagang penyangga dermaga.


Walau baru dua minggu, aku belajar mengagumi kota ini melalui desiran ombak dan kehidupan metropolis kecil berbau amis tiap hari. Alasan sederhana yang mengawali kehidupan kami berdua, aku dan mama. Ia menolak menerima bantuan dari teman-teman ayah yang entah bagaimana kami membalasnya, mereka terlalu baik.


Lebih mudah bertahan dikampung halaman, setidaknya banyak saudara yang siap membantu kita, sha” mama tak hentinya mengusapusap rambutku yang terkuncir.

Semenjak ayah meninggalkan kami, mama berjuang ditengah kerasnya ibukota. Tak bisa kubayangkan tubuh mama yang kecil itu mampu bertahan menghadapi benturan demi benturan yang disajikan para penduduknya, saling bersikutan untuk mencari rejeki. Itu juga yang menghawatirkan keluarga mama disini, yang menariknya untuk kembali ke kota dermaga, memulai kehidupan baru berdua.

Di garis horison sana, rona jingga mulai berbaur dengan kelabu, mengijinkan fajar memasuki singgasana langit, menggantikan sang rembulan, mengaburkan gemintang. Aku beranjak turun dari kamar ku, mengemas semua perlengkapan sekolah. Hari ini aku memulai sebagai anak baru di sebuah SMA tertua di kota dermaga.

"Mama sudah membuatkan sha bubur, ayo lekas duduk dan kita makan bersama" Mama tersenyum, walau keriput mulai menampakan garis diantara pipinya yang merona, mama masih terlihat muda, begitu mempesona.

"Sha hari ini akan pulang cepat, apa mama mau dibantu untuk mempersiapkan kedai?" aku memposisikan diri sebaik mungkin.

"Kalau sha sudah selesai, boleh bantu mama di kedai" Mama mengusap tangannya yang tidak basah.

Di atas meja, sudah tersaji semangkuk bubur hangat, lengkap dengan irisan daun bawang, kacang-kacangan dan taburan bawang goreng. Sebuah kecap manis dan ayam yang disuwir menjadikan badai warna yang cantik, melahap habis adalah satu-satunya cara menikmati sarapan terenak buatan mama.

"Mama boleh minta tolong,sha?" Mama menghentikan makan, mengeluarkan secarik kertas dari roknya. "Ini ada daftar bahan yang kurang, jika sempat..mampirlah ke toko paman adi, minta ia membawakan ini untuk mama" aku menyambut kertas pemberian mama, dengan mulut yang sibuk mengunyah.

"kalau begitu sha akan sampaikan ini pada paman adi, selagi berjalan ke sekolah" kembali ku adukan pandangan bersamaan dengan bercampurna daun bawang hingga semangkuk bubur panas itu habis.

"Kalau sha ada kesulitan selama disekolah, minta bantuan sama Pak Langgam, ya?" mama menghampiriku, mengangkat mangkuk yang sudah habis dengan sedikit membersihkan kecap yang sedkit menetes di sisi mangkuk. "Jangan lupakan juga bawa pad dan battery cadangannya."

Aku memeriksa kembali isi tas, memastikan semua yang kubutuhkan sudah ada didalamnya, hingga mantap. Aku menghampiri mama untuk pamit, dan sebuah kecupan hangat mengantarkan ku di pagi yang cerah.

Posting Komentar

3 Komentar

  1. Balasan
    1. Terima kasih kak, sudah lama nda menulis di blog..sedang sibuk kah?

      Hapus
    2. lagi nyari jati diri mbak hehe, sekarang lagi nyoba jualan :) ini akun saya mbak Ainul Rokhman :D

      Hapus